Keorisinalitasan
perbankan syariah yang mulai diragukan masyarakat
Saya
adalah salah satu mahasiswi Perbankan Syariah angkatan tiga Sekolah Tinggi Agama
Islam Mathali’ul Falah. Tepatnya saat ini saya duduk di semester empat dan baru
saja selesai menjalani Ujian Akhir Semester menuju semester lima.
Ketika
pertama kali saya berbicara tentang bank syariah dengan saudara sepupu yang
sudah sekian tahun tidak bertemu, mulai dari semester satu di STAIMAFA. Saya
masih ingat dengan jelas, waktu itu melalui pesawat telephon ia spontan
berkata, ”Mana ada Bank Syariah, lha wong kata Bank itu sendiri saja
sudah tidak Syariah!!” saya agak tercengang, karena sepengetahuan saya ia juga
menjadi nasabah aktif disebuah Bank. Dan saya juga yakin bahwa ia menggunakan
jasa Bank karena tidak bisa mengelakkan tuntutan kebutuhan pekerjaanya.
Memang,
istilah
Bank telah menjadi umum istilah yang umum yang banyak digunakan di masyarakat
dewasa ini. Palang merah punya “Bank Darah”, dilingkungan kesehatan ada “Bank
Sperma”, lembaga-lembaga penelitian punya “Bank data”, dan orang atau lembaga
yang mengalami keruntuhan keuangan (financial) disebut “Bankrut” (He…he…he…
^_^, Just Kidding). Tentu saja yang akan saya sampaikan pada paper ini bukanlah
bank-bank semacam itu, melainkan bank dala arti suatu lembaga intermediasi
keuangan yang paling penting dalam system perekonomian kita, yaitu suatu
lembaga khusus yang menyediakan berbagai layanan financial.
Kembali
berbiacara tentang “Masih ada nggak sich Perbankan Syariah saat ini, dan
kalaupun ada apakah masih orisinil seperti dulu?”
Perbankan
Syariah Dahulu…!! (Sejarah)
Seperti
yan kita ketahui dewasa ini, bahwasanya jenis Bank ada yang berdasarkan prinsip
konvensional dan ada juga yang berdasarkan prinsip syariah. Hal utama yang
menjadi perbedaan antara kedua jenis ini adalah dalam hal penentuan harga, baik
untuk harga jual maupun harga beli. Dalam bank konvensional penentuan harga
selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada
konsep islam, yaitu kerjasama dalam skema bagi hasil baik untung maupun rugi.
Sebenarnya,
praktek perbankan syariah sudah ada sejak zaman Rasulallah saw dahulu, yang
diantaranya meliputi: menerima simpanan uang, menerima pinjaman uang dan jasa
pengiriman uang.
Rasulallah
adalah seorang yang terpercaya dan dipercaya oleh masyarakat Makkah untuk
menyimpan barang, mulai dari sinilah mulai dikenal adanya produk perbankan
syariah yang sekarang ini kita kenal dengan wadiah. Zubair bin al Awwam
menerima barang dari masyarakat dalam bentuk pinjaman untuk digunakan, dalam
aplikasi perbankan syariah saat ini berbentuk pembiayaan. Ibnu Abbas
tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah, Abdullah bin Zubair di Mekah juga
melakukan pengiriman uang ke adiknya Mus’ab bin Zubair yang tinggal di Irak,
yang sekarang dapat kita praktekkan dalam bentuk transfer keuangan.
Namun, Fungsi-fungsi tersebut baru dilakukan oleh perorangan, belum dalam
bentuk lembaga.
Awal
bencana tersebut adalah pada abad ke delapan, dimana pada saat itu kepemimpinan
di pegang oleh Raja Henry, yang membolehkan sistem bunga pada perbankan syariah
dan system perekonomian, namun mengharamkan riba (usury). Mulai saat itulah Peradaban
muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim jatuh ke tangan bangsa
Eropa, sehingga perekonomian
digantikan sistem mereka sampai sekarang.[1]
Berangkat dari latar belakang inilah kemudian para ekonom
muslim tinggal diam begitu saja. Mereka ingin membenarkan anggapan masyarakat
bahwasanya bunga itu diperbolehkan, karena bunga tidak sama dengan riba
(tambahan tidak jelas yang diharamkan syariat islam). Keinginan tersebut mereka
wujudkan dengan mendirikan lembaga-lembaga perbankan yang berasaskan syariah
islam. Selain dari itu, harapan mereka dengan mendirikan perbankan-perbankan
syariah tersebut dapat menjadi ajang da’wah mereka melalui jalur ekonominya.
Dan pada akhirnya, awal mula kegiatan Bank Syariah
pertama kali dilakukan adalah di Pakistan dan Malaysia pada sekitar tahun
1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963 telah berdiri Islamic Rural Bank di
desa Ir Ghamr Bank. Bank ini beroperasi di pedesaan Mesir dan masih dalam
lingkup kecil. Dilanjutkan di Uni Emirat Arab, baru tahun 1975 dengan berdiri
Dubai Islamic Bank. Kemudian di Kuwait pada tahun 1977 berdiri Kuwait Finance
House yang beroperasi tanpa bunga. Selanjutnya kembali di Mesir pada tahun 1978
berdiri bank syariah yang diberi nama Finansial Islamic Bank. Langkah ini
kemudian di ikuti oleh Isalamic Internasional Bank for Invesment and
Development Bank Bank yg beranggotakan 22 negara dan selanjutnya Bank Islam menyebar di banyak
negara sampai sekarang.[2]
Perbankan Syariah Saat ini...??
Ibarat jamur yang bermunculan di Musim hujan, mungkin
adalah istilah yang bisa menggambarkan keberadaan perbankan syariah saat ini di
Negara Indonesia. Salah satu bukti nyata diantaranya adalah dengan banyaknya
lembaga keuangan yang memakai sistem syariah, kemudian perbankan-perbankan umum
yang kemudian melahirkan anak cabang berbasis syariah.
Ntah sejak kapan tepatnya sektor yang berembelkan syariah itu mulai
mendapatkan perhatian yang lebih dari para banker, bisnisman dan para pengamat
ekonomi hingga dapat berkembang seperti yang dapat kita rasakan saat ini. Alhamdulillah,
seharusnya hal ini adalah suatu hal yang patut kita syukuri, sebagai salah
satu dari da’wah islam melalui sektor ekonomi, dan lembaga keuangannya.
Namun, ”apakah kemunculan dan pendiriannya masih
berlatar belakang sama dengan awal keberadaanya dan pantaskah jika dikatakan
sebagai da’wah dan syiar islam?, inilah pertanyaan besar dalam diri kita
yang belum dapat terjawab jelas hingga saat ini.
Saat ini, baik di indonesia maupun dinegara-negara lain
seperti Oman, Malaysia, Brunai dan beberapa negara lainnya, semua
berlomba-lomba mendirikan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan yang bersistem
syariah, alasannya, mereka tergiur dengan bisnis tersebut dikarenakan
omset pendapatannya yang sangat menjanjikan bagi finansial, hingga menembus
angka jutaan, milyaran bahkan triliunan rupiah. Sungguh laba
(keuntungan) yang jauh diatas gaji presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Sebuah informasi yang menjadi keprihatinan tersendiri,
yang sampai (terdengar) ditelinga saya adalah adanya individu (banker-banker)
dan para pengelola dari beberapa perbankan-perbankan syariah di Indonesia yang
berasal dari orang-orang yang tidak mengerti sistem syariah, bahkan berasal
dari orang-orang konvensional. Jadi... pantaslah kalau masyarakat awam
pun ragu dengan kesyariahan lembaga keuangan syariah dewasa ini. Mereka
menganggap bahwa syariah hanyalah sebatas blangko untuk menarik perhatian dan
minat nasabah penyimpan maupun peminjam dana.
Sebagai seorang mahasiswi perbankan syariah, hal ini
menjadi suatu motivasi bagi diri saya untuk benar-benar mengkaji prinsip
syariah, agar suatu saat nanti ketika saya telah benar-benar menjadi orang yang
bergelut didalam lembaga keuangan syariah dapat menjelaskan kepada masyarakat
luas, bahwasanya lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah masih
dapat dibuktikan keorisinilannya, dan masih bertujuan untuk kemaslahatan umat,
sekaligus da’wah dan syiar agama islam, bukan hanya bisnis semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar