Kamis, 12 Juli 2012


Keorisinalitasan perbankan syariah yang mulai diragukan masyarakat
Saya adalah salah satu mahasiswi Perbankan Syariah angkatan tiga Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah. Tepatnya saat ini saya duduk di semester empat dan baru saja selesai menjalani Ujian Akhir Semester menuju semester lima.
Ketika pertama kali saya berbicara tentang bank syariah dengan saudara sepupu yang sudah sekian tahun tidak bertemu, mulai dari semester satu di STAIMAFA. Saya masih ingat dengan jelas, waktu itu melalui pesawat telephon ia spontan berkata, ”Mana ada Bank Syariah, lha wong kata Bank itu sendiri saja sudah tidak Syariah!!” saya agak tercengang, karena sepengetahuan saya ia juga menjadi nasabah aktif disebuah Bank. Dan saya juga yakin bahwa ia menggunakan jasa Bank karena tidak bisa mengelakkan tuntutan kebutuhan pekerjaanya.
Memang, istilah Bank telah menjadi umum istilah yang umum yang banyak digunakan di masyarakat dewasa ini. Palang merah punya “Bank Darah”, dilingkungan kesehatan ada “Bank Sperma”, lembaga-lembaga penelitian punya “Bank data”, dan orang atau lembaga yang mengalami keruntuhan keuangan (financial) disebut “Bankrut” (He…he…he… ^_^, Just Kidding). Tentu saja yang akan saya sampaikan pada paper ini bukanlah bank-bank semacam itu, melainkan bank dala arti suatu lembaga intermediasi keuangan yang paling penting dalam system perekonomian kita, yaitu suatu lembaga khusus yang menyediakan berbagai layanan financial.
Kembali berbiacara tentang “Masih ada nggak sich Perbankan Syariah saat ini, dan kalaupun ada apakah masih orisinil seperti dulu?”
Perbankan Syariah Dahulu…!! (Sejarah)
Seperti yan kita ketahui dewasa ini, bahwasanya jenis Bank ada yang berdasarkan prinsip konvensional dan ada juga yang berdasarkan prinsip syariah. Hal utama yang menjadi perbedaan antara kedua jenis ini adalah dalam hal penentuan harga, baik untuk harga jual maupun harga beli. Dalam bank konvensional penentuan harga selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada konsep islam, yaitu kerjasama dalam skema bagi hasil baik untung maupun rugi.
Sebenarnya, praktek perbankan syariah sudah ada sejak zaman Rasulallah saw dahulu, yang diantaranya meliputi: menerima simpanan uang, menerima pinjaman uang dan jasa pengiriman uang.
Rasulallah adalah seorang yang terpercaya dan dipercaya oleh masyarakat Makkah untuk menyimpan barang, mulai dari sinilah mulai dikenal adanya produk perbankan syariah yang sekarang ini kita kenal dengan wadiah. Zubair bin al Awwam menerima barang dari masyarakat dalam bentuk pinjaman untuk digunakan, dalam aplikasi perbankan syariah saat ini berbentuk pembiayaan. Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah, Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Mus’ab bin Zubair yang tinggal di Irak, yang sekarang dapat kita praktekkan dalam bentuk transfer keuangan. Namun, Fungsi-fungsi tersebut baru dilakukan oleh perorangan, belum dalam bentuk lembaga.
Awal bencana tersebut adalah pada abad ke delapan, dimana pada saat itu kepemimpinan di pegang oleh Raja Henry, yang membolehkan sistem bunga pada perbankan syariah dan system perekonomian, namun mengharamkan riba (usury). Mulai saat itulah Peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim jatuh ke tangan bangsa Eropa, sehingga perekonomian digantikan sistem mereka sampai sekarang.[1]
Berangkat dari latar belakang inilah kemudian para ekonom muslim tinggal diam begitu saja. Mereka ingin membenarkan anggapan masyarakat bahwasanya bunga itu diperbolehkan, karena bunga tidak sama dengan riba (tambahan tidak jelas yang diharamkan syariat islam). Keinginan tersebut mereka wujudkan dengan mendirikan lembaga-lembaga perbankan yang berasaskan syariah islam. Selain dari itu, harapan mereka dengan mendirikan perbankan-perbankan syariah tersebut dapat menjadi ajang da’wah mereka melalui jalur ekonominya.
Dan pada akhirnya, awal mula kegiatan Bank Syariah pertama kali dilakukan adalah di Pakistan dan Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963 telah berdiri Islamic Rural Bank di desa Ir Ghamr Bank. Bank ini beroperasi di pedesaan Mesir dan masih dalam lingkup kecil. Dilanjutkan di Uni Emirat Arab, baru tahun 1975 dengan berdiri Dubai Islamic Bank. Kemudian di Kuwait pada tahun 1977 berdiri Kuwait Finance House yang beroperasi tanpa bunga. Selanjutnya kembali di Mesir pada tahun 1978 berdiri bank syariah yang diberi nama Finansial Islamic Bank. Langkah ini kemudian di ikuti oleh Isalamic Internasional Bank for Invesment and Development Bank Bank yg beranggotakan 22 negara dan  selanjutnya Bank Islam menyebar di banyak negara sampai sekarang.[2]
Perbankan Syariah Saat ini...??
Ibarat jamur yang bermunculan di Musim hujan, mungkin adalah istilah yang bisa menggambarkan keberadaan perbankan syariah saat ini di Negara Indonesia. Salah satu bukti nyata diantaranya adalah dengan banyaknya lembaga keuangan yang memakai sistem syariah, kemudian perbankan-perbankan umum yang kemudian melahirkan anak cabang berbasis syariah.
 Ntah sejak kapan tepatnya sektor yang berembelkan syariah itu mulai mendapatkan perhatian yang lebih dari para banker, bisnisman dan para pengamat ekonomi hingga dapat berkembang seperti yang dapat kita rasakan saat ini. Alhamdulillah, seharusnya hal ini adalah suatu hal yang patut kita syukuri, sebagai salah satu dari da’wah islam melalui sektor ekonomi, dan lembaga keuangannya.
Namun, ”apakah kemunculan dan pendiriannya masih berlatar belakang sama dengan awal keberadaanya dan pantaskah jika dikatakan sebagai da’wah dan syiar islam?, inilah pertanyaan besar dalam diri kita yang belum dapat terjawab jelas hingga saat ini.
Saat ini, baik di indonesia maupun dinegara-negara lain seperti Oman, Malaysia, Brunai dan beberapa negara lainnya, semua berlomba-lomba mendirikan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan yang bersistem syariah, alasannya, mereka tergiur dengan bisnis tersebut dikarenakan omset pendapatannya yang sangat menjanjikan bagi finansial, hingga menembus angka jutaan, milyaran bahkan triliunan rupiah. Sungguh laba (keuntungan) yang jauh diatas gaji presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Sebuah informasi yang menjadi keprihatinan tersendiri, yang sampai (terdengar) ditelinga saya adalah adanya individu (banker-banker) dan para pengelola dari beberapa perbankan-perbankan syariah di Indonesia yang berasal dari orang-orang yang tidak mengerti sistem syariah, bahkan berasal dari orang-orang konvensional. Jadi... pantaslah kalau masyarakat awam pun ragu dengan kesyariahan lembaga keuangan syariah dewasa ini. Mereka menganggap bahwa syariah hanyalah sebatas blangko untuk menarik perhatian dan minat nasabah penyimpan maupun peminjam dana.
Sebagai seorang mahasiswi perbankan syariah, hal ini menjadi suatu motivasi bagi diri saya untuk benar-benar mengkaji prinsip syariah, agar suatu saat nanti ketika saya telah benar-benar menjadi orang yang bergelut didalam lembaga keuangan syariah dapat menjelaskan kepada masyarakat luas, bahwasanya lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah masih dapat dibuktikan keorisinilannya, dan masih bertujuan untuk kemaslahatan umat, sekaligus da’wah dan syiar agama islam, bukan hanya bisnis semata.


[1] Isyroh Fuaidy, Pada Perkuliahan PS4B: “Fiqh Muamalah II”, (STAIMAFA:2010) Informasi diperoleh dari: Outlook Perbankan Syariah 2012, BI
[2] Kasmir, S.E, M.M, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Penerbit: P.T Rajagrafindo Persada (Jakarta:2008) Hlm.187-188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar